Air kotor masuk rumah, membuat sofa, kasur, buku-buku tidak bisa dipakai
lagi. Pada saat banjir, listrik mati, PAM mati, telepon mati, jalanan macet.
Pasca banjir, sampah di mana-mana. Pabrik dan kantor yang tidak kena banjir pun
banyak yang tidak berjalan. Pegawainya tidak bisa menembus banjir. Daerah bebas
banjir ikut kena imbasnya. Harga kebutuhan pokok naik. Pasokan BBM terlambat.
Adakah teknologi untuk mengendalikan banjir? Ada! Kenapa tidak dipakai?
Dipakai! Kenapa tidak berhasil? Perlu sistem! Sistem apa? Ada sistem keras
(fisik) dan sistem lunak.
Banjir bukan sekedar fenomena alam. Fenomena alamnya adalah hujan. Tetapi
hujan belaka tidak otomatis menyebabkan banjir. Untuk menjadi banjir, debit air
yang berasal dari hujan dan limpahan daerah hulu, harus lebih besar dari
‘kredit air', yaitu air yang meresap, menguap atau dibuang. Oleh sebab itu,
agar tidak banjir, teknologi yang dapat dikembangkan adalah bagaimana
mengendalikan peresapan dan pembuangan air. Pengendalian hujan dan penguapan
belum perlu kita bahas, karena perlu energi yang besar atau waktu lama.
Agar peresapan optimal, tanah memerlukan permukaan yang poris. Hutan tropis
adalah contoh permukaan yang amat poris. Akarnya yang dalam mampu mengantar air
hingga lapisan yang terdalam. Sementara dedaunannya dapat melindungi serangan
hujan langsung ke tanah. Kalau tidak terlindungi, lapisan humus yang mampu
meresap air akan terkuliti, terbawa erosi, meninggalkan tanah gundul yang keras
dan tidak dapat meresap air lagi. Karena itu, teknologi peresapan yang terbaik
adalah penghutanan sebanyak mungkin lahan-lahan kosong, terutama di daerah
hulu. Hingga saat ini belum ada teknologi mekanis, termasuk sumur resapan, yang
lebih baik dari keberadaan pohon. Yang banyak diharapkan adalah bioteknologi
untuk menghasilkan jenis pohon yang dalam waktu singkat dapat besar, berakar
dalam dan efisiensinya tinggi.
Yang kedua adalah pembuangan. Air yang mengalir di permukaan harus dibuang
ke laut. Kalau debitnya amat besar, saluran alam (sungai) yang ada bisa
kewalahan. Untuk itu, ada beberapa teknologi untuk mengatasinya:
1.
Membuat situ (danau penampungan). Ini
teknologi yang paling sederhana, namun boros ruang. Di zaman Belanda, ada
ratusan situ di Jakarta dan Bogor. Ada situ yang aslinya rawa-rawa, ada pula
yang memang dibuat. Sekarang situ-situ itu banyak yang diurug jadi perumahan.
Alasannya untuk mengatasi ledakan penduduk, sekaligus mengusir sarang nyamuk
malaria atau demam berdarah. Sayang fungsi anti banjirnya tidak diganti.
Idealnya, kalau diurug, maka harus ada teknologi penggantinya, misalnya yang
berikut ini.
2.
Kanalisasi,
termasuk normalisasi sungai dan sodetan. Normalisasi adalah pelurusan aliran
sungai, supaya air lebih cepat ke laut, sehingga genangan lebih cepat teratasi
dan tidak membentuk banjir. Sodetan adalah menghubungkan dua sungai atau lebih
dengan kanal buatan, untuk mendistribusikan debit berlebih di satu sungai ke
sungai yang lain.
3.
Pompanisasi,
ini termasuk upaya pembuangan modern, perlu energi ekstra. Negeri Belanda saat
ini termasuk negara yang unggul dalam hal ‘mengeringkan laut’ dengan
pompanisasi dan tanggul. Sebagian besar Amsterdam sekarang ini lebih rendah
tujuh meter dari permukaan laut, tetapi berkat sistem pompa yang cukup, sudah
40 tahun lebih tidak ada banjir. Pompa-pompa modern dilengkapi pula dengan
sensor hujan atau air pasang, sehingga bekerja otomatis ketika dibutuhkan.
4.
Tanggul, ini
untuk membendung agar air sungai tidak meluap ke sekitarnya, yang barangkali
elevasinya lebih rendah dari air ketika tinggi. Hal yang sama dilakukan untuk
air pasang laut. Karena air tinggi tidak tiap hari, maka setiap tanggul pasti
harus ada pintu air.
Lima teknologi ini adalah inti sistem keras (hardware), yakni peningkatan
daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, situ, kanalisasi,
pompanisasi maupun tanggul sudah dicoba semua. Sudah ada beberapa villa di
Puncak yang dirobohkan lagi, demi tanah resapan. Gubernur DKI sudah berencana
di tahun anggaran ini mau membeli tanah-tanah untuk membuat situ. Banjir Kanal
Timur sudah mulai dibangun, meski pembebasan tanahnya terkendala. Pompanisasi
sudah dipakai di banyak kompleks perumahan menengah ke atas, agar banjir tidak
sampai masuk kompleks mereka. Dan tanggul sungai beserta pintu airnya, nyaris
tak terhitung, meski yang terkenal pintu air Manggarai.
Pasca banjir, banyak pihak berkomentar yang cenderung menyalahkan salah
satu aspek saja, kemudian lalu membuat usulan menurut satu aspek juga.
Bahkan, meski lima teknologi tadi sudah dioptimasi dengan simulator dan
dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja banjir bisa menjadi bencana, bila
sistem lunaknya tumpul. Apa itu sistem lunak? Sebenarnya cukup banyak. Di
tulisan ini akan diberikan lima contoh sistem lunak.
1.
Sistem
pengelolaan sampah. Banyak sungai dan selokan penuh sampah sehingga banjir.
Namun bila ditelusuri, sampah yang dibuang sembarangan itu terjadi karena
tempat sampah langka dan kapan diangkutnya tidak diketahui. Jadi pemerintah
daerah bertanggung jawab untuk mengangkuti sampah dengan disiplin tinggi.
Sistem penggajiannya perlu diperbaiki agar mereka dapat bertahan pada ‘bisnis
kotor’ itu.
2.
Sistem tata
ruang. Perencanaan tata ruang saat ini sering disetir para pemilik modal.
Hampir tak ada satupun daerah di Indonesia yang tata ruangnya berbasis bencana.
Artinya, mereka mengembangkan kota sudah dengan simulasi akan seperti apa kota
itu bila diberi bencana tertentu (banjir, gempa, tsunami dll). Tata ruang yang
berbasis bencana akan menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila
banjir atau kebakaran atau bencana lainnya terjadi. Jadi tidak perlu nantinya
ada pengungsi banjir di tepi jalan tol.
3.
Sistem
distribusi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berbasis riba sangat mendorong
urbanisasi, karena ada cukup besar uang yang tidak benar-benar ditanamkan di
sektor real. Andaikata sistem syariah yang dipakai, modal akan mengalir ke
sektor real, dan ini mau tidak mau akan mengalir ke daerah-daerah, dan
urbanisasi bisa ditekan.
4.
Sistem
edukasi bencana. Masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sadar bencana.
Sebagian bahkan menganggap banjir hal biasa kalau tinggal di Jakarta. Di
kantor-kantor saja, jarang ditemukan alat pemadam api, padahal kebakaran adalah
bencana lokal yang paling sering terjadi. Kalau kita belajar dari Jepang, alat
pemadam api kecil (sebesar semprotan Baygon) ada di hampir tiap rumah tangga
dan kamar hotel. Rute evakuasi dipasang di tempat-tempat umum. Pendidikan sadar
bencana ini harus didukung oleh para elite politis, selebritis dan media massa.
Pemerintah bahkan perlu membangun museum untuk memberi penghayatan bencana
kepada orang-orang yang belum pernah mengalaminya, agar tahu apa yang harus
diperbuat, baik untuk mencegahnya maupun mengatasinya ketika bencana terjadi.
5.
Terakhir
adalah sistem manajemen pemerintahan yang tanggap bencana. Semua orang yang
akan menjadi pejabat publik perlu dibekali dengan manual bila ada bencana
beserta Trainingnya. Aparat TNI perlu memiliki latihan-latihan khusus mengatasi
darurat bencana - tidak sekedar darurat militer atau perang. TNI adalah
organisasi yang paling mudah digerakkan, serta punya perlengkapannya untuk
mengatasi bencana. Namun bila saat ini tidak pernah disiapkan ke sana, dan para
pejabat publik tidak terpikir ke sana, ya semua tidak disiapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar